Kamis, 17 Maret 2011

Konflik bisnis perusahaan keluarga

Perusahaan keluarga yang perannya sebagai kontributor ekonomi di berbagai negara sangat menonjol (contoh: di AS menyumbang 59% GDP), ternyata menyimpan bara. Karena kenyataannya kelangsungan hidupnya sangat rentan, rata-rata umurnya hanya 24 tahun. Sumber bara api yang menonjol adalah suksesi dan konflik.

Dari namanya ‘perusahaan keluarga’ sudah nampak sumber konfliknya. Perusahaan adalah sebuah organisasi yang berbasis nilai-nilai bisnis tentu lebih rasional dan logis. Sementara organisasi bernama keluarga berlandaskan nilai-nilai keluarga yang bernuansa emosional.

Dalam derajat tertentu penggabungan dua nilai ini menghasilkan power yang sangat besar, karena tujuan dan langkah rasional disiram oleh ikatan emosional, sehingga menghasilkan komitmen dan semangat yang tinggi. Terbukti bahwa perusahaan keluarga menjadi pioneer dalam bisnis global dan menjadi kontributor yang handal dalam perekonomian di berbagai negara.

Konflik dalam perusahaan keluarga dapat dirumuskan sebagai suatu situasi di tempat kerja di mana dua atau lebih orang atau kelompok orang dalam keluarga mempunyai ide, pandangan, argumentasi, persepsi, dan pendapat yang berlawanan atau kontradiktif sehingga mereka saling menyalahkan yang berakibat pada perusahaan.

Dari pengertian ini, konflik dalam perusahaan keluarga dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu konflik antara kepentingan bisnis dan keluarga, konflik antaranggota keluarga, dan konflik antara keluarga dan karyawan.

Konflik antara kepentingan bisnis dan kepentingan keluarga disebabkan oleh adanya perbedaan antara nilai keluarga dan nilai bisnis. Dalam keluarga, hubungan lebih didasarkan pada emosi, sedangkan dalam bisnis hubungan lebih rasional dan logis.

Dalam bisnis orang yang memegang suatu jabatan adalah orang yang paling kompeten, sementara dalam keluarga pertalian darah lebih banyak berbicara. Posisi puncak sedapat mungkin diisi orang yang pertalian darahnya lebih dekat kepada pemilik/pendiri.

Sementara konflik antaranggota keluarga dapat dirangkum dalam empat hal, yaitu konflik tujuan, gaya hidup dan kerja, konflik menyangkut kendali perusahaan, dan leaving the nest (meninggalkan rumah).

Serangkaian tujuan untuk bisnis, keluarga terdekat, dan diri sendiri bisa berbeda dan menyebabkan konflik. Gaya hidup dan kerja berubah sepanjang waktu dan berbeda antara satu orang dengan lainnya, sehingga berpotensi menimbulkan konflik dalam keluarga.

Keengganan untuk mengalihkan kendali perusahaan ke generasi penerus dari pendiri/pemilik mengakibatkan konflik dalam keluarga dan perusahaan. Putra-putri yang menjadi dewasa merasa selalu diawasi (under the family microscope) karena merekalah nanti yang diharapkan meneruskan perusahaan.

Salah satu cara mengatasi konflik antaranggota keluarga ini adalah dilakukannya pengaturan peran setiap anggota keluarga yang bekerja di perusahaan. Di samping itu, diperlukan pula kejujuran dari anggota keluarga dalam mengelola bisnis, termasuk mengenai masalah yang timbul, harapan, dan rencana untuk masa mendatang.

Konflik nilai antara keluarga dan karyawan biasanya terletak pada profesionalitas dan kepercayaan. Anggota keluarga selalu menuntut komitmen yang tinggi dari profesional dan karyawan nonkeluarga. Namun bila tidak diimbangi dengan sikap yang sama dari anggota keluarga, jelas hal ini akan menimbulkan konflik.

Salah satu pemicu konflik adalah timbulnya miskomunikasi atau justru komunikasi yang over dosis. Carlock dan Ward menjelaskan, bahwa banyak keluarga menghindari untuk berkomunikasi dengan jujur tentang keadaan sebenarnya demi keutuhan atau harmoni dalam keluarga.

Suksesi juga menjadi sumber konflik yang utama, dan boleh dikatakan yang paling rumit dan menjadi ancaman terbesar keberlangsungan hidup perusahaan keluarga. Sang pendiri sering dihadapkan pada dilema ketika harus memilih penggantinya.

Selanjutnya, masalah antarpribadi dalam keluarga, distribusi sumber penghasilan dan kekayaaan, kepemimpinan, sistem dan struktur perusahan juga berpotensi menjadi sumber konflik.

Proses pembuatan keputusan dan tujuan yang tidak sesuai dalam sistem dan struktur perusahaan keluarga bisa menjadi sumber konflik. Bagi perusahaan yang sedang tumbuh, kunci utamanya adalah menanamkan sistem dan struktur yang baik supaya perusahaan makin berkembang dengan tetap memperhatikan perubahan.

Apakah konflik yang timbul selalu harus diterjemahkan sebagai sesuatu yang destruktif? Tidak. Konflik pun dapat bersifat konstruktif. Konflik yang konstruktif dapat meningkatkan pencapaian, berfungsi sebagai tanda peringatan, mendorong pengembangan sistem, melahirkan pandangan manajemen baru, serta mencegah timbulnya konflik yang lebih besar.

Konflik bersifat destruktif tatkala merugikan bisnis dalam jangka panjang, menimbulkan biaya bagi organisasi, menimbulkan kelelahan mental dan fisik, menguras energi, dan menghilangkan sinergi dalam perusahaan.

Langkah terpenting adalah bagaimana meminimalkan terjadinya konflik dan menyelesaikannya bila konflik itu muncul. Jika konflik ganas mulai muncul dan menggerogoti perusahaan, tak ada jalan lain untuk menelan pil pahit, yang kadang disertai airmata. Mekanismenya ada yang bersifat sukarela (voluntary) dan tidak sukarela (involuntary).

Penyelesaian konflik secara sukarela dilakukan melalui arbitration (menyampaikan perselisihan kepada konsultan) atau settlement agreement (pernyataan formal secara tertulis), business spin-offs (menyelesaikan konflik dengan cara membagi bisnis menjadi beberapa bagian), buy-out of dissenting shareholder (membeli saham pemilik yang lain), atau menjual bisnis ke pihak ketiga.

Sedangkan penyelesaian konflik secara involuntary bisa dilakukan dengan penyelesaian di pengadilan (court-ordered solution) atau memaksa pemilik lain untuk menjual saham-sahamnya (buy-out). Sebuah pilihan yang harus dihindari!

Disarikan dari artikel karya A.B. Susanto di Harian Bisnis Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar